BANDA ACEH – Semua Penduduk Aceh yang miskin atau penganggur dapat dijadikan orang yang produktif dan memiliki kerja atau usaha. Kalau pemerintah Aceh bertindak, dalam waktu setahun atau 365 hari, tidak akan ada lagi penduduk miskin atau pengangguran di Aceh.
Demikian kata peneliti independen, Teuku Abdul Malik, dalam sebuah wawancara dengan portalsatu.com, di Banda Aceh, Kamis 7 Januari 2016. Malik mengatakan, pemerintah harus mengetahui dan mengakui kekurangannya serta mempunyai niat baik untuk mengajak masyarakat sama-sama membangun daerah.
“Ada dua metode, pertama mengumpulkan info, siapa sebenarnya masyarakat yang dipimpinnya, apa saja kemampuan masyarakatnya, lalu berdasarkan data ini, pemerintah menciptakan peluang. Kedua, berdasarkan kebutuhan lapangan, pemerintah membuka peluang untuk masyarakatnya,” kata Ampon Malik yang juga seniman peraih juara 2 Harkonas Indonesia, dengan karyanya animasi iklan listrik.
Abdul Malik mengatakan, jika pemerintah ingin melaksanakannya, boleh dari hal kecil dulu yang butuh biaya hanya sekira 10 milyar, untuk empat perkerjaan mendasar yang selalu dibutuhkan masyarakat dan selama ini didatangkan dari Medan, seperti cabai, tomat, bawang, dan lainnya,” kata Malik.
Malik mengatakan, pemerintah harus benar-benar menjadi ‘ureueng chik’ (orang tua) masyarakat Aceh, yang siap membantu dan melindungi, jangan seperti kejadian di Lamteuba, sudah banyak dari pemuda-pemuda Aceh yang berjalan sendiri-sendiri dan berhasil, namun terbentur oleh reman gampong, bahkan ada tempat tampungan cabai petani dibakar,” kata Malik yang juga pembuat video klip album Kuthidieng yang dinyanyikan Liza Aulia produksi Kasga Record.
Malik mengatakan, jika usaha tersebut difasilitasi oleh pemerintah dan dilindungi layaknya pengamanan untuk kantor atau bank, maka level kesuksesannya akan lebih bagus karena pertanian diposisikan ini di level industri.
“Bayangkan, mana lebih penting gas dengan cabai, gas masih bisa digantikan dengan kayu bakar, arang, serbuk kayu, dan lainnya, namun cabai? Apakah ada penggantinya? Mungkin karena cabai mudah didapat, kita menganggapnya biasa, namun karena menganggap enteng, itu dikuasai oleh pihak-pihak dari luar Aceh” kata Malik.
Teuku Abdul Malik mengatakan, kebutuhan cabai di Aceh itu minimal satu ons perhari untuk setiap KK (Keluarga). Kalikan saja kebutuhan total hariannya, itu belum yang lain seperti tomat, bawang, kunyit, dan lainnya. Telur ayam juga dari luar, ayam potong dari luar, lembu pun hampir dari luar.
“Bukankah ini sama artinya, kita punya rumah yang besar serta kaya raya, punya anak banyak, lalu beli makanan di rumah tetangga. Jika pemerintah berniat baik dan ingin, pemerintah harus mengelola pertanian secara industri, artinya petani harus digaji bulanan serta produknya dikelola satu pintu untuk menjaga harga stabil, ” kata Malik.
Menurutnya, petani harus digaji bulanan karena berperan sebagai ujung tombak ekonomi serta untuk me-rebranding dengan konsep baru bahwa menjadi petani itu pekerjaan yang berkelas dan status sosialnya meningkat.
“Apakah ini bisa dilakukan? Tentu saja bisa, kebutuhan akan bahan pokok adalah barang konsumsi wajib dan selalu habis pakai, kebutuhan akan bahan pokok adalah barang konsumsi wajib dan selalu habis pakai,” kata Malik.
Abdul Malik mengatakan, pemerintah Aceh terlalu takut untuk melakukan hal tersebut karena pola pikir yang diterapkan adalah mereka juga pembisnis dan masyarakat dianggap saingan. Padahal, kata Malik, posisi penjabat pemerintah adalah sebagai perpanjang tangan rakyat untuk kesejahteraan bersama, bukan kesejateran personal atas nama rakyat.
“Kelebihan pola penggajian petani bulanan adalah, salah satunya akan menghilangkan sifat “ku’eh” masyarakat karena semua digaji dengan level yang sama. Ingin menyejahterakan masyarakat dengan membagi-bagikan uang satu juta Rupiah per-KK hanya menyebabkan masyarakat malas. Jika masyarakat kita malas, maka akan mudah dihancurkan secara eknomi oleh pedagang global, karena seluruh kreatifitas akan terhenti. Jika negara lain wajib militer untuk mempertahankan negaranya, maka kita harus wajib bertani secara industri untuk ketahanan pangan,” kata Malik.
Abdul Malik mengatakan, pola pikir bahwa petani adalah pekerjaan rendahan juga dialami oleh petani kopi di Gayo, padahal kualitas kopi arabica yang terbaik di dunia adalah kopi gayo. Jadi, kata Malik, secara kasar, yang pertama harus dilakukan pemerintah adalah, memperbaiki niat baiknya dalam mengemban amanah rakyat.
“Jika pemerintah sudah bisa seperti ini, maka membangun Aceh cukup 365 hari atau setahun, akan tampak hasil ke arah yang baik secara signifikan. Sebuah perspektif, sebenarnya pengalaman masa rehab rekon pascatsunami Aceh telah memberi pembelajaran yang cukup banyak,” kata Malik.
Ia mengatakan, kehancuran yang cukup dahsyat masa tsunami 2004 terselesaikan hanya dalam empat tahun karena semua bekerja, semua melakukan tupoksi masing-masing.
“Kenapa itu tidak bisa dilakukan lagi sekarang? Sebenarnya bukan tidak bisa, tetapi tidak mau. Pemegang kekuasaan mendapat keuntungan dari keadaan ini. Padahal jika ingin ditinjau lebih jauh, jika masyarakat diajak bekerja bersama dengan pemerintah, keuntungan yang bisa diperoleh jauh lebih besar dan lebih bertahan lama,” kata Malik.
Malik mengatakan, langkah yang tepat tersebut mendesak harus dilakukan oleh Pemerintah Aceh karena ini sudah memasuki MEA (Masyarakat Ekonomi Asean). Jika pemerintah lengah, kata Malik, maka APBA hanya untuk gaji PNS dan membuat proyek yang sia-sia.
“Jika pemerintah agak kesulitan dalam hal mengaplikasikan hal ini, langkah yang harus ditempuh adalah membentuk satker (satuan kerja) khusus untuk ini, dinas-dinas yang ada berfungsi sebagai tenaga ahli di bidangnya, jadi satker ini akan mencaplok seluruh bidang untuk mempercepat kerja menyejahterakan masyarakat Aceh,” kata Malik.
Pemerintah Aceh, katanya, boleh menjadikan diri seumpama direktur sebuah perusahaan yang bernama Aceh. Banyaknya kabupaten dan kota memliki karakter khusus perdaerah merupakan kode alam. Seolah-olah alam berkata, setiap kabupaten harus ada komoditi khusus dan prioritas layaknya Gayo dengan kopi arabicanya, namun mereka tak punya kelapa.
“Andai setiap kabupaten dibangun industri pangan yang berbeda untuk menyejahterakan seluruh masyarkat Aceh, maka dalam 365 hari akan terlihat bahwa masyarkat Aceh punya orang tua yang melindungi mereka,” kata Malik, direktur Zhet Production ini.
Abdul Malik mengumpamakan, anggaplah cabai lebih bagus di Sigli, tomat lebih bagus di Bireuen, kakau lebih bagus di Pijay, bawang lebih bagus di Idi, maka pemerintah harus membangun industri pertanian ini di setiap kabupaten dan kota. Jika dianggap nanti hasilnya akan surplus, kata Malik, jangan takut karena produk tersebut akan bisa diekspor atau dibuat produk turunan.
“Masyarakat miskin di Aceh sekira 859.000, dikalikan 10.000 per bulan sumbangan untuk industri lain, maka menjadi 8.590.000.000 Rupiah, yang dikalikan 12 bulan, menjadi 103.080.000.000 Rupiah, untuk membangun industri lain di tahun kedua. Itu dari masyarakat miskin saja, itu langsung dipotong dari gaji bulan.
Malik mengatakan, dengan menjalankan semua rangkaian yang disebutkannya tadi, maka pada bulan keenam, masyarakat miskin di Aceh adalah 0 persen. Pada tahun kedua atau pertengahan tahun pertama, project bidang industri teknologi diterapkan.
“Untuk memudahkan dalam menjalankannya, pemerintah membentuk satker, lalu memilih tenaga-tenaga ahli untuk melaksanakannya, bukan hanya memberi ide, tapi mampu mengaplikasikannya di lapangan. Beri mereka kekuatan lebih serta hak prioritas intervensi seperti polisi dan KPK. Plot budget untuk mereka sesuai program yang diajukan,” kata Teuku Abdul Malik yang tengah meneliti bidang teknologi bio gas ini.[]
Sumber: portalsatu.com